Perkembangan
Partai Politik di Indonesia
A.
Partai
Politik
Partai
politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus. Bisa juga di definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas,
sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau
struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang
terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang
mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang
didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu. Dalam sejarah Indonesia,
keberadaan Partai politik di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi
Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo
dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi
keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai
perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari
organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.
B.
Perkembangan Partai Politik dan Pemilu di Indonesia
Perkembangan
Partai Politik dari Masa ke Masa.
1.
Partai Politik pada Masa Penjajahan Belanda.
Pada masa penjajahan
Belanda, partai-partai politik tidak dapat hidup tentram. Tiap partai yang
bersuara menentang dan bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya
ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang pertama lahir
di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember
1912, di Bandung.
Dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Dr.
Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu
adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena
ketiga pemimpin masing-masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian
diasingkan ke Belanda.
2.
Partai Politik pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Perang Pasifik berjalan 3 bulan, pada bulan Maret
1942, tentara Jepang dipimpin oleh Jendral Imamura mendarat di Pulau Jawa.
Dengan semboyan “kemakmuran bersama” dan “Asia untuk bangsa Asia”, banyak di
antara pemimpin-pemimpin Indonesia yang terpikat hatinya oleh Jepang, sebab
percaya pada propagandanya yang mengadakan Perang Suci.
Padahal kedatangan bangsa Jepang yang sesungguhnya adalah
menggantikan kedudukan penjajahan Belanda. Saat itu, partai politik dilarang,
kecuali Masyumi boleh berkembang. Untuk memuaskan bangsa Indonesia, Jepang
mengatur strategi yaitu kota-kota di Indonesia yang sejak zaman Belanda diganti
dengan nama Belanda, lalu diganti lagi dengan nama Indonesia asli.
Ketika Jepang berkuasa di Nusantara, mereka bertindak
sewenang-wenang, berbuat sangat kejam dan hidup kemewahan, sedangkan ribuan
rakyat Indonesia yang mati kelaparan dan dipaksa menjadi budak romusha banyak
yang menderita. Beberapa golongan bangsa Indonesia yang tidak tahan lagi
melihat kekejaman Jepang lalu memberontak, seperti pemberontakan PETA di
Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan Kalimantan Barat. Setelah peristiwa tersebut
terjadi, rakyat Indonesia terutama, pemudanya yang sudah mendapat latihan
militer menyadari bahwa nasib bangsa Indonesia yang dijajah oleh siapa pun sama
berat rasanya. Maka dari itu bulatlah tekad mereka untuk merebut kemerdekaan,
sekalipun akan menimbulkan korban lautan darah.
3.
Perkembangan Partai Politik pada Masa
Awal Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan,
rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga
menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada
zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya
jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu
sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945
yang berisi, anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat
perjuangan kemerdekaan. Diantaranya yaitu, Partai Sosialis, Partai Komunis
Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata atau Murba,
Masyumi, dan Serindo-PNI.
4.
Partai Politik
pada Masa UUDS 1950-1959
Ketika itu Indonesia
menganut demokrasi liberal, karena kabinetnya bersifat parlementer. Dalam
demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, kebebasan
individu terjamin. Begitu juga lembaga tinggi. Dalam sistem politik menurut
UUDS 1950, peranan partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR
saling ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai.
Dalam tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang-orang berpendapat
bahwa partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin
partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan, meskipun
pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh
ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu
dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan antar politisi
tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Partai politik) sendiri.
5.
Partai Politik
pada Masa Orde Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3
November 1945 yang menganjurkan dibentuknya partai politik, sejak saat itu
berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, yang
meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk
mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3
November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai
berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme. Dan kelompok partai lain-lain yang
termasuk adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional.
Partai-partai peserta pemilu yang tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai
“Partai Gurem”, partai yang tidak jelas power base-nya. Parta-partai Gurem itu
semakin lama semakin tidak terdengar lagi suaranya. Sementara itu ada partai
yang berhasil meraih kursi melakukan penggabungan-penggabungan dalam
pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap ini perkembangan kepartaian mengalami
proses seleksi alamiah berdasarkan akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai
yang semula puluhan banyaknya, terseleksi hingga menjadi belasan saja. Jumlah
yang mengecil itu bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam
demokrasi liberal ke alam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai
berlangsung terus-menerus. Pada tanggal 5 Juli 1960, Presiden Sukarno
mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan,
dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno
mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus
seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII,
Arudji, dan IPKI. Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam
Perti.
Jadi, pada waktu itu partai politik yang boleh bergerak
hanya 10 partai saja, karena partai politik yang lain dianggap tidak memenuhi
definisi tentang partai atau dibubarkan karena tergolong partai Gurem. Tetapi
jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden
Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan
alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan
terlarang seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto
Kebudayaan).
6. Partai Politik
Pada Masa Orde Baru
Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI,
adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di
Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian
partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua
dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia.
Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai
kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari
pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara
murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha menciptakan politik dengan format baru.
Artinya menggunakan sistem politik yang lebih sederhana dengan memberi peranan
ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Partai politik yang terdengar dalam
MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak
sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik
pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut.
Khawatir menghadapi perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam
meleburkan diri dalam partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya
terdapat tiga buah organisasi sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI.
Berikut sejarah singkat berdirinya tiga partai besar tersebut.
a.
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP)
Pada tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan
Pembangunan yang merupakan fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada awalnya
bernama golongan spiritual, lalu menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi
Persatuan Pembangunan. Ketika itu partai-partai Islam berusaha menggunakan nama
dengan label Islam untuk partai dari fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah
agar tidak menggunakannya.
Sehingga yang
muncul adalah “Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP lahir sebagai
hasil fusi dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya adalah
partai Islam yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya.
b.
Golongan Karya
(Golkar)
Pengorganisasian Golkar secara teratur dimulai sejak
tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya ABRI-AD, dan secara eksplisit
organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan semula untuk mengimbangi
dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga keutuhan
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Jadi, semula Golkar merupakan organisasi yang dipakai
untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada tahun1960-an, yang
kemudian terus berkembang hingga saat ini, dimana fungsi Golkar sama seperti
partai politik.
Perkembangan lain dari Golkar yang tadinya Golkar dan
ABRI menyatu, karena Golkar dipimpin ABRI aktif, makin lama sudah makin
mandiri, dalam arti sudah tidak lagi bersangkut-paut dengan ABRI aktif. Pada
perkembangan lebih lanjut Golkar sebagai kekuatan Orde Baru bertekad
melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang menuju
tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial politik yang
merupakan aset bangsa yang selalu komit dengan cita-cita pembangunan nasional.
Dalam politik orde baru Golkar merupakan kekuatan sosial
politik yang terbesar dengan 4 kali menang dalam pemilihan umum (1971, 1977,
1982, 1992)
c.
Partai
Demokrasi Indonesia (PDI)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10
Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang
berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen
Katolik. Kelima partai politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI,
Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi
sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah pertentangan/konflik di
kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah
yang dihadapi PDI.
Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah
identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal),
masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. Dan
berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah
dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP,
Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
7. Partai Politik di Masa Reformasi
Perubahan yang
menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan
partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa
politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik. Hakikat
reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan-kekuatan
masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik sebagai pilar demokrasi.
Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai-partai
baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai
hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar,
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya
adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah
ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan
bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis
multidevresional yang sudah berjalan.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Perubahan
tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya
oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak
lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung.
Dalam
penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat
adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan
DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya
dilaksanakan menurut Undang-Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik gabungan-gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan
pemilihan umum“. Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali
melalui pemilihan yang dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta
Jujur dan Adil, yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional tetap dan mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar