Minggu, 23 Juli 2017

Membandingkan organisasi partai politik dengan saat ini

BAB I
PENDAHULUAN
Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik baru dalam suatu masyarakat, yang disertai dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar, dengan sendirinya menuntut pelembagaan sejumlah saluran baru, diantaranya melalui pembentukan partai politik. Partai politik yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.


Seperti juga yang dijelaskan oleh Friedrich : partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan penguasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan tersebut akan memberikan kegunaan materil dan idil kepada para anggotanya.[1] Dan Soltau : partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.


Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat mengkomunikasikan pandangan dan prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai dan sebagainya. Agar anggota partai dapat mengetahui prinsip partai, program kerja partai atau pun gagasan partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya, komunikasi politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau media massa yang mendukungnya.


Tujuan dari pembentukan partai politik menurut Undang-undang no.2 tahun 2008 tentang partai politik, yaitu
· mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945
· menjaga dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik Indonesia
· mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik Indonesia
· mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
· meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan
· memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
· membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[2]


Selain itu ada juga tujuan partai politik menurut basis sosial dibagi menjadi empat tipe yaitu :
Partai politik berdasarkan lapisan masyarakat yaitu bawah, menengah dan lapisan atas.
· Partai politik berdasarkan kepentingan tertentu yaitu petani, buruh dan pengusaha.
· Partai politik yang didasarkan pemeluk agama tertentu.
· Partai politik yang didasarkan pada kelompok budaya tertentu.


Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa merdeka.


· Masa penjajahan Belanda.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka


· Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.


· Masa Merdeka (mulai 1945).
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.


Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.


Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).


Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan masa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.


Ideologi bagi partai adalah suatu idealisme yang menjadi garis besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya. Sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia–selain dengan mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari segi ini pun terkadang ada partai yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini.


BAB II
PERMASALAHAN


Perkembangan Partai politik islam pada masa orde baru dan pada masa reformasi menjadi pembahasan dalam kajian ini, Sedangkan secara spesifiknya, makalah ini di arahkan kepada beberapa pertanyaan yang diharapkan nantinya akan memperoleh jawaban-jawaban yang konkrit berdasarkan data yang dapat di percaya sehingga akan melengkapi makalah ini.
Beberapa pertanyaan itu ialah :


2.1 Bagaimana partai politik Islam di Indonesia pada masa orde baru ?


2.2 Bagaimana partai politik islam di Indonesia pada masa reformasi?


2.3 Apakah terjadi perkembangan partai politik di Indonesia dari masa ke masa?


Beberapa pertanyaan di atas menjadi suatu permasalahan yang harus di tuntaskan, sehingga nantinya data yang akan kami peroleh dapat memecahkan beberapa pertanyaan yang sempat muncul dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.


BAB III
PEMBAHASAN 
III.1 partai politik pada masa orde baru
Sepanjang sejarahnya setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melaksanakan 8 kali Pemilu. Dari seluruh pemilu tersebut tidak pernah ketinggalan diikuti juga oleh partai-partai Islam. Pemilu pertama yang dilaksanankan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan cabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi) diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat 5 partai islam Partai NU ,PSII, PTII, Masyumi dan PERTI.


Hasil pemilu 1955, partai-partai Islam memperoleh hasil yang cukup baik walaupun masih kalah suara disbanding dengan parta-partai nasional sekuler, Masyumi dan PNI memenangkan pemilu DPR dengan mwemperoleh masing-masing 57 kursi, sedangkan di Konstituante Masyumi memperoleh 112 kursi dan PNI memperoleh 119 kursi. Urutan slanjutnya ditempati oleh NU dengan 45 kursi DPR dan 91 kursi di Konstituante, PKI 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante, PSII memperoleh 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante. Total kursi yang diperoleh partai Islam di DPR adalah 116 kursi dari 257 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 45,13%. Sedangkan di Konstituante memperoleh 230 kursi dari 514 kursi Konstituante yang diperebutkan dalam pemilu atau sebesar 44,74%.


Pada masa Orde Baru yaitu yang dimulai pada pemilu tahun 1971 Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu PSII memperoleh 10 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 26 kursi dan Partai Islam Perti mendapat 2 kursi. Jumlah total perolehan kursi Partai-partai Islam adalah 96 kursi dari 362 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 26,5 %. Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia.


Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982, memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari 400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%, serta Partai Persatuan Pembangunan untuk pemilu selanjutnya sampai dengan pemilu tahun 1997, tidak menunjukkan perbedaan yang demikian.


Pada masa Orde Baru terdapat tiga modes of interaction antara Islam dan Negara, dimulai dengan bentuk hubungan yang antagonistic antara tahun 1966 sampai dengan 1982, kemudian disusul oleh hubungan yang lain, yaitu hubungan yang bersifat resiprokal kritis sekitar tahun 1982 sampai dengan 1985. Kemudian berubah dengan suatu model hubungan yang bersifat akomodatif semenjak 1985.


Partai-partai islam yang mengikuti Pemilu 1971 adalah Parmusi (Parati Muslimin Indonesia), Nahdatul Ulama ( NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan PartaiIslam (Perti). Keempat partai politik Islam tersebut kemudian melakukan fusi pada 5 January 1973. Meskipun demikian, praktik-praktik politik selama era Orde Baru sangat di dominasi oleh pendekatan yang represif. Hal tersebut terlihat dari aspirasi rakyat yang sulit menjadi kebijakan pemerintah. Tidak saja itu, tetapi penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru lebih merupakan suatu pemenuhan tuntutan formal dari konstitusi Negara dan bukan merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya. Karena itu, rakyat pada umumnya dan umat islam pada khususnya menganggap perlu dibentuk wadah partai politik baru untuk menganalisis aspirasinya.


Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi diatas 62% sampai 75% yang m,erupakan alat politik pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suara partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaannya. Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan Birokrasi dan ABRI.


III.2 partai politik pada masa reformasi
Lahirnya Masa Reformasi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei 1998, yang disebabkan oleh demonstrasi massa yang sangat besar yang menuntut perubahan dalam segala bidang termasuk bidang kebebasan politik, kebebasan pers serta pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa itu membuka keran demokrasi ini dengan seluas-luasnya, yaitu dengan membuka dan menjamin kebebasan pers serta membebaskan berdirinya partai-partai politik yang baru.


Era baru ini disambut dengan gegap gempita dengan tuntutan perubahanperubahan radikal dalam politik. Kebijakan Presiden B.J. Habibie yang membebaskan berdirinya partai politik itu, disambut dengan lahirnya ratusan partai politik baru di Indonesia yaitu paling tidak 181 partai politik, yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemilu yang dipercepat pada bulan Juni 1999. Dalam pemilu pertama masa reformasi itu, tidak seluruh partai politik yang terdaftar bisa ikut pemuli, karena setelah dilakukan verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum pemilu tersebut hanya diikuti oleh 48 partai Politik.


Pemilu ini, dianggap sebagai pemilu paling demakratis yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya setelah Pemilu pertama pada tahun 1955. Dari seluruh partai politik peserta pemilu tersebut paling tidak terdapat 8 partai politik Islam, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bagian awal tulisan ini. Hasil Pemilu tahun 1999, menunjukkan bahwa ternyata perolehan partai politik Islam sangatlah kecil dibanding dengan perolehan suara partai politik yang tidak berdasarkan Islam.


Partai Persatuan Pembangunan yang telah berumur hampir ¼ abad hanya memperoleh 58 kursi DPR yaitu 12,6 % dari 462 kursi yang diperebutkan. Partai Bulan Bintang memperoleh 13 kursi atau 2%, Partai Keadilan memperoleh 7 kursi atau 1,5%, Partai Nahdatul Ummah memperoleh 5 kursi atau 1%, serta 3 partai Islam lain yang memperoleh kursi masing-masing 1 kursi, yaitu Partai Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam serta Partai Masyumi sehingga berjumlah 3 kursi atau 0,64 %.


Sementara itu, kedua partai yang berbasiskan massa Islam, memperoleh kursi yang juga tidak begitu besar, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh 51 kursi atau 11% dan Partai Amanat Nasional memperoleh 34 kursi atau 7,36 %. Sehingga total perolehan kursi kedua partai ini adalah 85 kursi atau 18,36%. Jumlah ini seimbang dengan perolehan kursi partai-partai Islam. Sedangkan total perolehan kursi partai Islam dan partai barbasis massa Islam adalah 171 kursi atau 37 %. Peranan dan kedudukan parlemen hasil pemilu tahun 1999, menemptai posisi yang sangat strategis bagi masa depan Indonesia, karena dalam masa inilah kebijakankebijakan strategis dan mendasar bagi masa depan Indonesia di letakkan antara lain dengan adanya perubahan yang sangat besar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.


III. 3 perkembangan partai politik Islam di Indonesia pada masa ke masa
Pada masa ke masa partai politik islam mengalami perkembangan yang cukup baik. Ini ditandai dengan semakin banyaknya partai-partai politik yang berlandaskan dari agama yang bermunculan dari masa ke masa. Seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru partai politik Islam hanya terdiri dari 4 sampai 5 partai politik saja. Dan keeksistensiannya pun masih sangat minim dan tidak terlalu terasa akan keberadaannya karena pada masa tersebut pemerintah masih memproteksi fungsi semua partai-partai politik yang ada. Bisa dikatakan Negara hanya merdeka dari penjajahannya saja tetapi masih terjadi keotoriteran dalam menjalankan suatu tatanan pemerintahan.


Pada masa reformasi yang telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan karena telah banyaknya partai-partai politik yang bermunculan ke kancah perpolitikkan di Indonesia. Terdapat paling tidak 8 partai yang bernafaskan islam yang muncul pada masa B.J Habibie ini. Walaupun ternyata perolehan partai politik Islam sangatlah kecil dibanding dengan perolehan suara partai politik yang tidak berdasarkan Islam pada pemilihan di masa ini. Tetapi bermunculannya partai-partai Islam pada masa ini membuat bangkitnya semangat partai-partai islam untuk tumbuh dan berkembang.


Dan perkembangan partai politik Islam mulai sangat terasa pada saat Pemilu pada tahun 2004 yaitu mulainya muncul partai islam yang cukup memberikan kejutan-kejutan pada perpolitikan di Indonesia seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah (PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia, PPNUI), kedua, Partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.


Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam ini sangat menarik, sebab hampir selama masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi oleh pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan dan Partai politik Islam.


Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir (sebelum 2008) menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi justru menjadi pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam dua kali pemilihan umum 1999 dan 2004, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu menjadi milik Partai-Partai Islam, pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh Partai-Partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah Partai-Partai ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di negeri ini, ataukah Partai-Partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di kancah perpolitikan Nasional.


IV. PENUTUP
Dari penjelasan yang telah saya paparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik Islam di Indonesia dari masa ke masa terjadi peningkatan yang ditandai dengan bermunculannya beberapa parta-partai Islam di Indonesia dari masa ke masa. Semakin banyaknya saja partai politik Islam yang tumbuh berkembang. Tetapi perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955.


Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.


Pada pemilu 2009 partai politik islam hanya bisa masuk ke dalam 10 besar saja yaitu PKS memperoleh nomor urut 8 dalam PEMILU 2009 melalui Pengundian Nomor Urut Partai yang diadakan secara resmi oleh KPU. Partai Keadilan Sejahtera mendapat 57 kursi (10%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 8.206.955 suara (7,9%) .


Mungkin semakin melemahnya hasil pemungutan suara partai politik islam jika dibandingkan pada masa 1955 dengan sekarang dikarenakan banyaknya umat islam yang tidak ikut memilih partai politik islam melainkan lebih memilih partai politik nasional saja. Walaupun mayoritas penduduk di Indonesia adalah umat Islam, ini tidak menjadi jaminan bahwa partai politik islam akan memegang suara dalam pemilihan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar