BAB I
PENDAHULUAN
Berkembangnya
aspirasi-aspirasi politik baru dalam suatu masyarakat, yang disertai
dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar, dengan
sendirinya menuntut pelembagaan sejumlah saluran baru, diantaranya
melalui pembentukan partai politik. Partai politik yaitu organisasi
politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan
khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang
sama.
Seperti juga yang
dijelaskan oleh Friedrich : partai politik sebagai kelompok manusia yang
terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan
mempertahankan penguasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya,
dan berdasarkan kekuasaan tersebut akan memberikan kegunaan materil dan
idil kepada para anggotanya.[1]
Dan Soltau : partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik
dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk
menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.
Partai politik
menjalankan fungsi sebagai alat mengkomunikasikan pandangan dan
prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai dan
sebagainya. Agar anggota partai dapat mengetahui prinsip partai, program
kerja partai atau pun gagasan partainya untuk menciptakan ikatan moral
pada partainya, komunikasi politik seperti ini menggunakan media partai
itu sendiri atau media massa yang mendukungnya.
Tujuan dari pembentukan partai politik menurut Undang-undang no.2 tahun 2008 tentang partai politik, yaitu
· mewujudkan
cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan
undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945
· menjaga dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik Indonesia
· mengembangkan
kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik Indonesia
· mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
· meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan
· memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
· membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[2]
Selain itu ada juga tujuan partai politik menurut basis sosial dibagi menjadi empat tipe yaitu :
Partai politik berdasarkan lapisan masyarakat yaitu bawah, menengah dan lapisan atas.
· Partai politik berdasarkan kepentingan tertentu yaitu petani, buruh dan pengusaha.
· Partai politik yang didasarkan pemeluk agama tertentu.
· Partai politik yang didasarkan pada kelompok budaya tertentu.
Perkembangan partai
politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode
perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan
masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang
dan masa merdeka.
· Masa penjajahan Belanda.
Masa ini disebut sebagai
periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia
Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa
itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan
Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti
Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam
pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka
· Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua
kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan
untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang
sosial.
· Masa Merdeka (mulai 1945).
Beberapa bulan setelah
proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan
partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia.
Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.
Pemilu 1955 memunculkan 4
partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950
sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik,
karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai
ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan
tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan
tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer
diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi
terpimpin.
Pada masa demokrasi
terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak
lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini
dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh
NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa
PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir
September 1965).
Setelah itu Indonesia
memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa
dibanding dengan masa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini
adalah munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya
(Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang
partai diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan
Muslim Indonesia) serta PNI.
Ideologi bagi partai
adalah suatu idealisme yang menjadi garis besar bagi kegiatan dan
organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang kurang kuat inilah,
partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya. Sangat sulit
membedakan partai-partai Indonesia–selain dengan mengelompokkan mereka
dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari segi ini pun terkadang
ada partai yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini.
BAB II
PERMASALAHAN
Perkembangan Partai
politik islam pada masa orde baru dan pada masa reformasi menjadi
pembahasan dalam kajian ini, Sedangkan secara spesifiknya, makalah ini
di arahkan kepada beberapa pertanyaan yang diharapkan nantinya akan
memperoleh jawaban-jawaban yang konkrit berdasarkan data yang dapat di
percaya sehingga akan melengkapi makalah ini.
Beberapa pertanyaan itu ialah :
2.1 Bagaimana partai politik Islam di Indonesia pada masa orde baru ?
2.2 Bagaimana partai politik islam di Indonesia pada masa reformasi?
2.3 Apakah terjadi perkembangan partai politik di Indonesia dari masa ke masa?
Beberapa pertanyaan di
atas menjadi suatu permasalahan yang harus di tuntaskan, sehingga
nantinya data yang akan kami peroleh dapat memecahkan beberapa
pertanyaan yang sempat muncul dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 partai politik pada masa orde baru
Sepanjang sejarahnya
setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah
melaksanakan 8 kali Pemilu. Dari seluruh pemilu tersebut tidak pernah
ketinggalan diikuti juga oleh partai-partai Islam. Pemilu pertama yang
dilaksanankan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan
cabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi) diikuti oleh 118
peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun
perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi
Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat 5 partai
islam Partai NU ,PSII, PTII, Masyumi dan PERTI.
Hasil pemilu 1955,
partai-partai Islam memperoleh hasil yang cukup baik walaupun masih
kalah suara disbanding dengan parta-partai nasional sekuler, Masyumi dan
PNI memenangkan pemilu DPR dengan mwemperoleh masing-masing 57 kursi,
sedangkan di Konstituante Masyumi memperoleh 112 kursi dan PNI
memperoleh 119 kursi. Urutan slanjutnya ditempati oleh NU dengan 45
kursi DPR dan 91 kursi di Konstituante, PKI 39 kursi DPR dan 80 kursi
Konstituante, PSII memperoleh 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante.
Total kursi yang diperoleh partai Islam di DPR adalah 116 kursi dari 257
kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 45,13%. Sedangkan di
Konstituante memperoleh 230 kursi dari 514 kursi Konstituante yang
diperebutkan dalam pemilu atau sebesar 44,74%.
Pada masa Orde Baru
yaitu yang dimulai pada pemilu tahun 1971 Pemilu kedua ini diikuti oleh
sepuluh Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu PSII
memperoleh 10 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 26 kursi dan Partai Islam
Perti mendapat 2 kursi. Jumlah total perolehan kursi Partai-partai
Islam adalah 96 kursi dari 362 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar
26,5 %. Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama
20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru
yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan
sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia.
Partai Islam semakin
pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977
memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982,
memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari
400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi
yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997
memperoleh 16%, serta Partai Persatuan Pembangunan untuk pemilu
selanjutnya sampai dengan pemilu tahun 1997, tidak menunjukkan perbedaan
yang demikian.
Pada masa Orde Baru
terdapat tiga modes of interaction antara Islam dan Negara, dimulai
dengan bentuk hubungan yang antagonistic antara tahun 1966 sampai dengan
1982, kemudian disusul oleh hubungan yang lain, yaitu hubungan yang
bersifat resiprokal kritis sekitar tahun 1982 sampai dengan 1985.
Kemudian berubah dengan suatu model hubungan yang bersifat akomodatif
semenjak 1985.
Partai-partai islam yang
mengikuti Pemilu 1971 adalah Parmusi (Parati Muslimin Indonesia),
Nahdatul Ulama ( NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan
PartaiIslam (Perti). Keempat partai politik Islam tersebut kemudian
melakukan fusi pada 5 January 1973. Meskipun demikian, praktik-praktik
politik selama era Orde Baru sangat di dominasi oleh pendekatan yang
represif. Hal tersebut terlihat dari aspirasi rakyat yang sulit menjadi
kebijakan pemerintah. Tidak saja itu, tetapi penyelenggaraan pemilu
selama Orde Baru lebih merupakan suatu pemenuhan tuntutan formal dari
konstitusi Negara dan bukan merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang
sebenar-benarnya. Karena itu, rakyat pada umumnya dan umat islam pada
khususnya menganggap perlu dibentuk wadah partai politik baru untuk
menganalisis aspirasinya.
Pemilu sepanjang Orde
Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu
memperoleh kursi diatas 62% sampai 75% yang m,erupakan alat politik
pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suara partai Islam pada masa
ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang
dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru
memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya Birokrasi
dan ABRI untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaannya. Kemenangan
Golkar didukung penuh oleh kekuatan Birokrasi dan ABRI.
III.2 partai politik pada masa reformasi
Lahirnya Masa Reformasi
ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei
1998, yang disebabkan oleh demonstrasi massa yang sangat besar yang
menuntut perubahan dalam segala bidang termasuk bidang kebebasan
politik, kebebasan pers serta pemberantasan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa
itu membuka keran demokrasi ini dengan seluas-luasnya, yaitu dengan
membuka dan menjamin kebebasan pers serta membebaskan berdirinya
partai-partai politik yang baru.
Era baru ini disambut
dengan gegap gempita dengan tuntutan perubahanperubahan radikal dalam
politik. Kebijakan Presiden B.J. Habibie yang membebaskan berdirinya
partai politik itu, disambut dengan lahirnya ratusan partai politik baru
di Indonesia yaitu paling tidak 181 partai politik, yang dilanjutkan
dengan pelaksanaan pemilu yang dipercepat pada bulan Juni 1999. Dalam
pemilu pertama masa reformasi itu, tidak seluruh partai politik yang
terdaftar bisa ikut pemuli, karena setelah dilakukan verifikasi oleh
Komisi Pemilihan Umum pemilu tersebut hanya diikuti oleh 48 partai
Politik.
Pemilu ini, dianggap
sebagai pemilu paling demakratis yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia sepanjang sejarahnya setelah Pemilu pertama pada tahun 1955.
Dari seluruh partai politik peserta pemilu tersebut paling tidak
terdapat 8 partai politik Islam, sebagaimana yang telah diuraikan dalam
bagian awal tulisan ini. Hasil Pemilu tahun 1999, menunjukkan bahwa
ternyata perolehan partai politik Islam sangatlah kecil dibanding dengan
perolehan suara partai politik yang tidak berdasarkan Islam.
Partai Persatuan
Pembangunan yang telah berumur hampir ¼ abad hanya memperoleh 58 kursi
DPR yaitu 12,6 % dari 462 kursi yang diperebutkan. Partai Bulan Bintang
memperoleh 13 kursi atau 2%, Partai Keadilan memperoleh 7 kursi atau
1,5%, Partai Nahdatul Ummah memperoleh 5 kursi atau 1%, serta 3 partai
Islam lain yang memperoleh kursi masing-masing 1 kursi, yaitu Partai
Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam serta Partai Masyumi sehingga
berjumlah 3 kursi atau 0,64 %.
Sementara itu, kedua
partai yang berbasiskan massa Islam, memperoleh kursi yang juga tidak
begitu besar, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh 51 kursi atau
11% dan Partai Amanat Nasional memperoleh 34 kursi atau 7,36 %.
Sehingga total perolehan kursi kedua partai ini adalah 85 kursi atau
18,36%. Jumlah ini seimbang dengan perolehan kursi partai-partai Islam.
Sedangkan total perolehan kursi partai Islam dan partai barbasis massa
Islam adalah 171 kursi atau 37 %. Peranan dan kedudukan parlemen hasil
pemilu tahun 1999, menemptai posisi yang sangat strategis bagi masa
depan Indonesia, karena dalam masa inilah kebijakankebijakan strategis
dan mendasar bagi masa depan Indonesia di letakkan antara lain dengan
adanya perubahan yang sangat besar pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
III. 3 perkembangan partai politik Islam di Indonesia pada masa ke masa
Pada masa ke masa partai
politik islam mengalami perkembangan yang cukup baik. Ini ditandai
dengan semakin banyaknya partai-partai politik yang berlandaskan dari
agama yang bermunculan dari masa ke masa. Seperti pada masa Orde Lama
dan Orde Baru partai politik Islam hanya terdiri dari 4 sampai 5 partai
politik saja. Dan keeksistensiannya pun masih sangat minim dan tidak
terlalu terasa akan keberadaannya karena pada masa tersebut pemerintah
masih memproteksi fungsi semua partai-partai politik yang ada. Bisa
dikatakan Negara hanya merdeka dari penjajahannya saja tetapi masih
terjadi keotoriteran dalam menjalankan suatu tatanan pemerintahan.
Pada masa reformasi yang
telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan karena telah
banyaknya partai-partai politik yang bermunculan ke kancah perpolitikkan
di Indonesia. Terdapat paling tidak 8 partai yang bernafaskan islam
yang muncul pada masa B.J Habibie ini. Walaupun ternyata perolehan
partai politik Islam sangatlah kecil dibanding dengan perolehan suara
partai politik yang tidak berdasarkan Islam pada pemilihan di masa ini.
Tetapi bermunculannya partai-partai Islam pada masa ini membuat
bangkitnya semangat partai-partai islam untuk tumbuh dan berkembang.
Dan perkembangan partai
politik Islam mulai sangat terasa pada saat Pemilu pada tahun 2004 yaitu
mulainya muncul partai islam yang cukup memberikan kejutan-kejutan pada
perpolitikan di Indonesia seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan
Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah
(PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah
Indonesia, PPNUI), kedua, Partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai
azaznya tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam
kelompok ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya
adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang konsituan
utamanya adalah warga Muhammadiyah.
Fenomena munculnya
kembali Partai-Partai politik Islam ini sangat menarik, sebab hampir
selama masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru
sangat didominasi oleh pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim
orde baru memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan dan Partai
politik Islam.
Fenomena munculnya
kembali Partai-Partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir
(sebelum 2008) menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran
mereka di kancah perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi
penggembira saja, tetapi justru menjadi pendulang suara rakyat yang
patut diperhitungkan. Terbukti dalam dua kali pemilihan umum 1999 dan
2004, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, tetapi kursi ketua MPR
selalu menjadi milik Partai-Partai Islam, pertama oleh Amin Rais dari
PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu masih akan terus
menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh Partai-Partai
politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah Partai-Partai ini
akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di
negeri ini, ataukah Partai-Partai ini hanya akan menjadi penggembira
saja di kancah perpolitikan Nasional.
IV. PENUTUP
Dari penjelasan yang
telah saya paparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik
Islam di Indonesia dari masa ke masa terjadi peningkatan yang ditandai
dengan bermunculannya beberapa parta-partai Islam di Indonesia dari masa
ke masa. Semakin banyaknya saja partai politik Islam yang tumbuh
berkembang. Tetapi perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955.
Gabungan partai Islam
pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai
nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam
(PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu,
suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini
masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai
Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.
Pada pemilu 2009 partai
politik islam hanya bisa masuk ke dalam 10 besar saja yaitu PKS
memperoleh nomor urut 8 dalam PEMILU 2009 melalui Pengundian Nomor Urut
Partai yang diadakan secara resmi oleh KPU. Partai Keadilan Sejahtera
mendapat 57 kursi (10%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 8.206.955 suara (7,9%) .
Mungkin semakin
melemahnya hasil pemungutan suara partai politik islam jika dibandingkan
pada masa 1955 dengan sekarang dikarenakan banyaknya umat islam yang
tidak ikut memilih partai politik islam melainkan lebih memilih partai
politik nasional saja. Walaupun mayoritas penduduk di Indonesia adalah
umat Islam, ini tidak menjadi jaminan bahwa partai politik islam akan
memegang suara dalam pemilihan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar