Minggu, 23 Juli 2017

Gaya-Gaya Kepemimpinan

Gaya-Gaya Kepemimpinan

1.Gaya Kepemimpinan Otokratis

Gaya ini kadang-kadang dikatakan kepemimpinan terpusat pada diri pemimpin atau gaya direktif. Gaya ini ditandai dengan sangat banyaknya petunjuk yang datangnya dari pemimpin dan sangat terbatasnya bahkan sama sekali tidak adanya peran serta anak buah dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Pemimpin secara sepihak menentukan peran serta apa, bagaimana, kapan, dan bilamana berbagai tugas harus dikerjakan. Yang menonjol dalam gaya ini adalah pemberian perintah.

Pemimpin otokratis adalah seseorang yang memerintah dan menghendaki kepatuhan. Ia memerintah berdasarkan kemampuannya untuk memberikan hadiah serta menjatuhkan hukuman. Gaya kepemimpinan otokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan semata-mata diputuskan oleh pimpinan.

Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis adalah sebagai berikut:

• Wewenang mutlak terpusat pada pemimpin

• Keputusan selalu dibuat oleh pemimpin;

• Kebijakan selalu dibuat oleh pemimpin;

• Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada bawahan;

• Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahannya dilakukan secara ketat;

• Tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran pertimbangan atau pendapat;

• Lebih banyak kritik dari pada pujian, menuntut prestasi dan kesetiaan sempurna dari bawahan tanpa syarat, dan cenderung adanya paksaan, ancaman, dan hukuman.

2.Gaya Kepemimpinan Demokratis

Gaya kepemimpinan demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.

Gaya ini kadang-kadang disebut juga gaya kepemimpinan yang terpusat pada anak buah, kepemimpinan dengan kesederajatan, kepemimpinan konsultatif atau partisipatif. Pemimpin kerkonsultasi dengan anak buah untuk merumuskan tindakan keputusan bersama.

Adapun ciri-cirinya sebagai berikut:

a.Wewenang pemimpin tidak mutlak;

b.Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan;

c. Keputusan dan kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan;

d.Komunikasi berlangsung secara timbal balik, baik yang terjadi antara pimpinan dan bawahan maupun sesama bawahan;

e.Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahan dilakukan secara wajar;

f. Prakarsa dapat datang dari pimpinan maupun bawahan;

g. Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat; Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan dari pada intruksi;

h.Pimpinan memperhatikan dalam bersikap dan bertindak, adanya saling percaya, saling menghormati.

3.           Gaya Kepemimpinan Delegatif

Gaya Kepemimpinan delegatif dicirikan dengan jarangnya pemimpin memberikan arahan, keputusan diserahkan kepada bawahan, dan diharapkan anggota organisasi dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri (MacGrefor, 2004). Gaya Kepemimpinan adalah suatu ciri khas prilaku seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Dengan demikian maka gaya kepemimpinan seorang pemimpin sangat dipengaruhi oleh karakter pribadinya. Kepemimpinan delegatif adalah sebuah gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pimpinan kepada bawahannya yang memiliki kemampuan, agar dapat menjalankan kegiatannya yang untuk sementara waktu tidak dapat dilakukan oleh pimpinan dengan berbagai sebab. Gaya kepemimpinan delegatif sangat cocok dilakukan jika staf yang dimiliki memiliki kemampuan dan motivasi yang tinggi. dengan demikian pimpinan tidak terlalu banyak memberikan instruksi kepada bawahannya, bahkan pemimpin lebih banyak memberikan dukungan kepada bawahannya.

4.Gaya Kepemimpinan Birokratis

Gaya ini dapat dilukiskan dengan kalimat “memimpin berdasarkan peraturan”. Perilaku pemimpin ditandai dengan keketatan pelaksanaan prosedur yang berlaku bagi pemipin dan anak buahnya. Pemimpin yang birokratis pada umumnya membuat keputusan-keputusan berdasarkan aturan yang ada secara kaku tanpa adanya fleksibilitas. Semua kegiatan hampir terpusat pada pimpinan dan sedikit saja kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak, itupun tidak boleh lepas dari ketentuan yang ada.

Adapun karakteristik dari gaya kepemimpinan birokratis adalah sebagai berikut:

a.Pimpinan menentukan semua keputusan yang bertalian dengan seluruh pekerjaan dan memerintahkan semua bawahan untuk melaksanakannya;

b. Pemimpin menentukan semua standar bagaimana bawahan melakukan tugas;

c.Adanya sanksi yang jelas jika seorang bawahan tidak menjalankan tugas sesuai dengan standar kinerja yang telah ditentukan.

5.Gaya Kepemimpinan Laissez Faire

Gaya ini mendorong kemampuan anggota untuk mengambil inisiatif. Kurang interaksi dan kontrol yang dilakukan oleh pemimpin, sehingga gaya ini hanya bias berjalan apabila bawahan memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran cukup tinggi.

Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin sedikit sekali menggunakan kekuasaannya atau sama sekali membiarkan anak buahnya untuk berbuat sesuka hatinya. Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan Laissez Faire adalah sebagai berikut:

• Bawahan diberikan kelonggaran atau fleksibel dalam melaksanakan tugas-tugas, tetapi dengan hati-hati diberi batasan serta berbagai produser;

• Bawahan yang telah berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya diberikan hadiah atau penghargaan, di samping adanya sanksi-sanksi bagi mereka yang kurang berhasil, sebagai dorongan;

• Hubungan antara atasan dan bawahan dalam suasana yang baik secara umum manajer bertindak cukup baik;

• Manajer menyampaikan berbagai peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas atau perintah, dan sebaliknya para bawahan diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatannya.

6.Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian

Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan.

Tipe kepemimpinan yang otoriter biasanya berorientasi kepada tugas. Artinya dengan tugas yang diberikan oleh suatu lembaga atau suatu organisasi, maka kebijaksanaan dari lembaganya ini akan diproyeksikan dalam bagaimana ia memerintah kepada bawahannya agar kebijaksanaan tersebut dapat tercapai dengan baik. Di sini bawahan hanyalah suatu mesin yang dapat digerakkan sesuai dengan kehendaknya sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan sama sekali tak pernah diperhatikan.

7.Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic

Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.

Tipe kepemimpinan demokratis merupakan tipe kepemimpinan yang mengacu pada hubungan. Di sini seorang pemimpin selalu mengadakan hubungan dengan yang dipimpinnya. Segala kebijaksanaan pemimpin akan merupakan hasil musyawarah atau akan merupakan kumpulan ide yang konstruktif. Pemimpin sering turun ke bawah guna mendapatkan informasi yang juga akan berguna untuk membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan selanjutnya.

8.Gaya Kepemimpinan Karismatis

Kelebihan gaya kepemimpinan karismatis ini adalah mampu menarik orang. Mereka terpesona dengan cara berbicaranya yang membangkitkan semangat. Biasanya pemimpin dengan gaya kepribadian ini visionaris. Mereka sangat menyenangi perubahan dan tantangan.

Mungkin, kelemahan terbesar tipe kepemimpinan model ini bisa di analogikan dengan peribahasa Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Mereka mampu menarik orang untuk datang kepada mereka. Setelah beberapa lama, orang – orang yang datang ini akan kecewa karena ketidak-konsisten-an. Apa yang diucapkan ternyata tidak dilakukan. Ketika diminta pertanggungjawabannya, si pemimpin akan memberikan alasan, permintaan maaf, dan janji.

9.Gaya Kepemimpinan Diplomatis

Kelebihan gaya kepemimpinan diplomatis ini ada di penempatan perspektifnya. Banyak orang seringkali melihat dari satu sisi, yaitu sisi keuntungan dirinya. Sisanya, melihat dari sisi keuntungan lawannya. Hanya pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa melihat kedua sisi, dengan jelas! Apa yang menguntungkan dirinya, dan juga menguntungkan lawannya.

Kesabaran dan kepasifan adalah kelemahan pemimpin dengan gaya diplomatis ini. Umumnya, mereka sangat sabar dan sanggup menerima tekanan. Namun kesabarannya ini bisa sangat keterlaluan. Mereka bisa menerima perlakuan yang tidak menyengangkan tersebut, tetapi pengikut-pengikutnya tidak. Dan seringkali hal inilah yang membuat para pengikutnya meninggalkan si pemimpin.

10.Gaya Kepemimpinan Otoriter

Tipe kepemimpinan yang otoriter biasanya berorientasi kepada tugas. Artinya dengan tugas yang diberikan oleh suatu lembaga atau suatu organisasi, maka kebijaksanaan dari lembaganya ini akan diproyeksikan dalam bagaimana ia memerintah kepada bawahannya agar kebijaksanaan tersebut dapat tercapai dengan baik. Di sini bawahan hanyalah suatu mesin yang dapat digerakkan sesuai dengan kehendaknya sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan sama sekali tak pernah diperhatikan.

Kelebihan model kepemimpinan otoriter ini ada di pencapaian prestasinya. Tidak ada satupun tembok yang mampu menghalangi langkah pemimpin ini. Ketika dia memutuskan suatu tujuan, itu adalah harga mati, tidak ada alasan, yang ada adalah hasil. Langkah – langkahnya penuh perhitungan dan sistematis.Dingin dan sedikit kejam adalah kelemahan pemimpin dengan kepribadian merah ini. Mereka sangat mementingkan tujuan sehingga tidak pernah peduli dengan cara. Makan atau dimakan adalah prinsip hidupnya.

11.Gaya Kepemiminan Moralis

Kelebihan dari gaya kepemimpinan seperti ini adalah umumnya Mereka hangat dan sopan kepada semua orang. Mereka memiliki empati yang tinggi terhadap permasalahan para bawahannya, juga sabar, murah hati Segala bentuk kebajikan ada dalam diri pemimpin ini. Orang – orang yang datang karena kehangatannya terlepas dari segala kekurangannya. Kelemahan dari pemimpinan seperti ini adalah emosinya. Rata orang seperti ini sangat tidak stabil, kadang bisa tampak sedih dan mengerikan, kadang pula bisa sangat menyenangkan dan bersahabat.

Jika saya menjadi pemimpin, Saya akan lebih memilih gaya kepemimpinan demokratis.Karena melalui gaya kepemimpinan seperti ini   permasalahan dapat di selesaikan dengan kerjasama antara atasan dan bawahan. Sehingga hubungan atasan dan bawahan bisa terjalin dengan baik.

12.Gaya Kepemimpinan Administratif

Gaya kepemimpinan tipe ini terkesan kurang inovatif dan telalu kaku pada aturan. Sikapnya konservatif serta kelihatan sekali takut dalam mengambil resiko dan mereka cenderung  mencari aman. Model kepemimpinan seperti ini jika mengacu kepada analisis perubahan yang telah  kita bahas sebelumnya, hanya cocok pada situasi Continuation, Routine change, serta Limited change.

13.Gaya kepemimpinan analitis (Analytical).

Dalam gaya kepemimpinan tipe ini,  biasanya pembuatan keputusan didasarkan pada proses analisis,  terutama analisis logika pada setiap informasi yang diperolehnya. Gaya ini berorientasi pada hasil dan menekankan pada rencana-rencana rinci serta berdimensi jangka panjang. Kepemimpinan model ini sangat mengutamakan logika dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang masuk akal serta kuantitatif.

14.Gaya kemimpinan   asertif (Assertive).

Gaya kepemimpinan ini sifatnya lebih agresif dan mempunyai perhatian yang sangat besar pada pengendalian personal dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya. Pemimpin tipe asertif lebih terbuka dalam konflik dan kritik. Pengambilan keputusan muncul dari proses argumentasi dengan beberapa sudut pandang sehingga muncul kesimpulan yang memuaskan.

15.Gaya kepemimpinan entrepreneur.

Gaya kepemimpinan ini sangat menaruh perhatian kepada kekuasaan dan hasil akhir serta  kurang mengutamakan  pada kebutuhan akan kerjasama. Gaya kepemimpinan model ini biasannya selalu mencari pesaing dan menargetkan standar yang tinggi.

16.Gaya Kepemimpinan Visioner

Kepemimpinan visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota perusahaan dengan cara memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas. Kepemimpinan Visioner memerlukan kompetensi tertentu. Pemimipin visioner setidaknya harus memiliki empat kompetensi kunci sebagaimana dikemukakan oleh Burt Nanus (1992), yaitu:

1.Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini membutuhkan pemimpin untuk menghasilkan “guidance, encouragement, and motivation.”

2.Seorang pemimpin visioner harus memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi secara tepat atas segala ancaman dan peluang. Ini termasuk, yang plaing penting, dapat "relate skillfully" dengan orang-orang kunci di luar organisasi, namun memainkan peran penting terhadap organisasi (investor, dan pelanggan).

3.Seorang pemimpin harus memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek organisasi, prosedur, produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam hal ini harus terlibat dalam organisasi untuk menghasilkan dan mempertahankan kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan mempersiapkan dan memandu jalan organisasi ke masa depan (successfully achieved vision).

4. Seorang pemimpin visioner harus memiliki atau mengembangkan "ceruk" untuk mengantisipasi masa depan. Ceruk ini merupakan ssebuah bentuk imajinatif, yang berdasarkan atas kemampuan data untuk mengakses kebutuhan masa depan konsumen, teknologi, dan lain sebagainya. Ini termasuk kemampuan untuk mengatur sumber daya organisasi guna memperiapkan diri menghadapi kemunculan kebutuhan dan perubahan ini.

Dalam era turbulensi lingkungan seperti sekarang ini, setiap pemimpin harus siap dan dituntut mampu untuk melakukan transformasi terlepas pada   gaya kepemimpinan apa yang mereka anut.  Pemimpin harus mampu mengelola perubahan, termasuk di dalamnya mengubah budaya organiasi yang tidak lagi kondusif dan produktif. Pemimpin harus mempunyai visi yang tajam, pandai mengelola keragaman  dan mendorong  terus proses pembelajaran   karena dinamika perubahan lingkungan serta persaingan yang semakin ketat.

17.Gaya Kepemimpinan Situasional

kepemimpinan situasional adalah “a leadership contingency theory that focuses on followers readiness/maturity”. Inti dari teori kepemimpinan situational adalah bahwa gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan berbeda-beda, tergantung dari tingkat kesiapan para pengikutnya.

Pemahaman fundamen dari teori kepemimpinan situasional adalah tentang tidak adanya gaya kepemimpinan yang terbaik. Kepemimpinan yang efektif adalah bergantung pada relevansi tugas, dan hampir semua pemimpin yang sukses selalu mengadaptasi gaya kepemimpinan yang tepat.

Efektivitas kepemimpinan bukan hanya soal pengaruh terhadap individu dan kelompok tapi bergantung pula terhadap tugas, pekerjaan atau fungsi yang dibutuhkan secara keseluruhan.   Jadi pendekatan kepemimpinan situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik.

Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar efektif ia harus mampu menyesuaikan gayanya terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah. Teori kepemimpinan situasional bertumpu pada dua konsep fundamental yaitu:tingkat kesiapan/kematanganindividu atau kelompok sebagai pengikut dangaya kepemimpinan.

18.Kepemimpinan (Traits model of ledership)

Kepemimpinan ini pada tahap awal mencoba meneliti tentangwatak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya:kecerdasan,kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, statussosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).

Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain.  Terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah.



19.Kepemimpinan Militeristik

Tipe pemimpin seperti ini sangat mirip dengan tipe pemimpin otoriter yang merupakan tipe pemimpin yang bertindak sebagai diktator terhadap para anggota kelompoknya.Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, (5) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya berlangsung searah.

Membandingkan organisasi partai politik dengan saat ini

BAB I
PENDAHULUAN
Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik baru dalam suatu masyarakat, yang disertai dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar, dengan sendirinya menuntut pelembagaan sejumlah saluran baru, diantaranya melalui pembentukan partai politik. Partai politik yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.


Seperti juga yang dijelaskan oleh Friedrich : partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan penguasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan tersebut akan memberikan kegunaan materil dan idil kepada para anggotanya.[1] Dan Soltau : partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.


Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat mengkomunikasikan pandangan dan prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai dan sebagainya. Agar anggota partai dapat mengetahui prinsip partai, program kerja partai atau pun gagasan partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya, komunikasi politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau media massa yang mendukungnya.


Tujuan dari pembentukan partai politik menurut Undang-undang no.2 tahun 2008 tentang partai politik, yaitu
· mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945
· menjaga dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik Indonesia
· mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik Indonesia
· mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
· meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan
· memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
· membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[2]


Selain itu ada juga tujuan partai politik menurut basis sosial dibagi menjadi empat tipe yaitu :
Partai politik berdasarkan lapisan masyarakat yaitu bawah, menengah dan lapisan atas.
· Partai politik berdasarkan kepentingan tertentu yaitu petani, buruh dan pengusaha.
· Partai politik yang didasarkan pemeluk agama tertentu.
· Partai politik yang didasarkan pada kelompok budaya tertentu.


Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa merdeka.


· Masa penjajahan Belanda.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka


· Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.


· Masa Merdeka (mulai 1945).
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.


Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.


Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).


Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan masa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.


Ideologi bagi partai adalah suatu idealisme yang menjadi garis besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya. Sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia–selain dengan mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari segi ini pun terkadang ada partai yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini.


BAB II
PERMASALAHAN


Perkembangan Partai politik islam pada masa orde baru dan pada masa reformasi menjadi pembahasan dalam kajian ini, Sedangkan secara spesifiknya, makalah ini di arahkan kepada beberapa pertanyaan yang diharapkan nantinya akan memperoleh jawaban-jawaban yang konkrit berdasarkan data yang dapat di percaya sehingga akan melengkapi makalah ini.
Beberapa pertanyaan itu ialah :


2.1 Bagaimana partai politik Islam di Indonesia pada masa orde baru ?


2.2 Bagaimana partai politik islam di Indonesia pada masa reformasi?


2.3 Apakah terjadi perkembangan partai politik di Indonesia dari masa ke masa?


Beberapa pertanyaan di atas menjadi suatu permasalahan yang harus di tuntaskan, sehingga nantinya data yang akan kami peroleh dapat memecahkan beberapa pertanyaan yang sempat muncul dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.


BAB III
PEMBAHASAN 
III.1 partai politik pada masa orde baru
Sepanjang sejarahnya setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melaksanakan 8 kali Pemilu. Dari seluruh pemilu tersebut tidak pernah ketinggalan diikuti juga oleh partai-partai Islam. Pemilu pertama yang dilaksanankan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan cabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi) diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat 5 partai islam Partai NU ,PSII, PTII, Masyumi dan PERTI.


Hasil pemilu 1955, partai-partai Islam memperoleh hasil yang cukup baik walaupun masih kalah suara disbanding dengan parta-partai nasional sekuler, Masyumi dan PNI memenangkan pemilu DPR dengan mwemperoleh masing-masing 57 kursi, sedangkan di Konstituante Masyumi memperoleh 112 kursi dan PNI memperoleh 119 kursi. Urutan slanjutnya ditempati oleh NU dengan 45 kursi DPR dan 91 kursi di Konstituante, PKI 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante, PSII memperoleh 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante. Total kursi yang diperoleh partai Islam di DPR adalah 116 kursi dari 257 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 45,13%. Sedangkan di Konstituante memperoleh 230 kursi dari 514 kursi Konstituante yang diperebutkan dalam pemilu atau sebesar 44,74%.


Pada masa Orde Baru yaitu yang dimulai pada pemilu tahun 1971 Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu PSII memperoleh 10 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 26 kursi dan Partai Islam Perti mendapat 2 kursi. Jumlah total perolehan kursi Partai-partai Islam adalah 96 kursi dari 362 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 26,5 %. Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia.


Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982, memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari 400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%, serta Partai Persatuan Pembangunan untuk pemilu selanjutnya sampai dengan pemilu tahun 1997, tidak menunjukkan perbedaan yang demikian.


Pada masa Orde Baru terdapat tiga modes of interaction antara Islam dan Negara, dimulai dengan bentuk hubungan yang antagonistic antara tahun 1966 sampai dengan 1982, kemudian disusul oleh hubungan yang lain, yaitu hubungan yang bersifat resiprokal kritis sekitar tahun 1982 sampai dengan 1985. Kemudian berubah dengan suatu model hubungan yang bersifat akomodatif semenjak 1985.


Partai-partai islam yang mengikuti Pemilu 1971 adalah Parmusi (Parati Muslimin Indonesia), Nahdatul Ulama ( NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan PartaiIslam (Perti). Keempat partai politik Islam tersebut kemudian melakukan fusi pada 5 January 1973. Meskipun demikian, praktik-praktik politik selama era Orde Baru sangat di dominasi oleh pendekatan yang represif. Hal tersebut terlihat dari aspirasi rakyat yang sulit menjadi kebijakan pemerintah. Tidak saja itu, tetapi penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru lebih merupakan suatu pemenuhan tuntutan formal dari konstitusi Negara dan bukan merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya. Karena itu, rakyat pada umumnya dan umat islam pada khususnya menganggap perlu dibentuk wadah partai politik baru untuk menganalisis aspirasinya.


Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi diatas 62% sampai 75% yang m,erupakan alat politik pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suara partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaannya. Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan Birokrasi dan ABRI.


III.2 partai politik pada masa reformasi
Lahirnya Masa Reformasi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei 1998, yang disebabkan oleh demonstrasi massa yang sangat besar yang menuntut perubahan dalam segala bidang termasuk bidang kebebasan politik, kebebasan pers serta pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa itu membuka keran demokrasi ini dengan seluas-luasnya, yaitu dengan membuka dan menjamin kebebasan pers serta membebaskan berdirinya partai-partai politik yang baru.


Era baru ini disambut dengan gegap gempita dengan tuntutan perubahanperubahan radikal dalam politik. Kebijakan Presiden B.J. Habibie yang membebaskan berdirinya partai politik itu, disambut dengan lahirnya ratusan partai politik baru di Indonesia yaitu paling tidak 181 partai politik, yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemilu yang dipercepat pada bulan Juni 1999. Dalam pemilu pertama masa reformasi itu, tidak seluruh partai politik yang terdaftar bisa ikut pemuli, karena setelah dilakukan verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum pemilu tersebut hanya diikuti oleh 48 partai Politik.


Pemilu ini, dianggap sebagai pemilu paling demakratis yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya setelah Pemilu pertama pada tahun 1955. Dari seluruh partai politik peserta pemilu tersebut paling tidak terdapat 8 partai politik Islam, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bagian awal tulisan ini. Hasil Pemilu tahun 1999, menunjukkan bahwa ternyata perolehan partai politik Islam sangatlah kecil dibanding dengan perolehan suara partai politik yang tidak berdasarkan Islam.


Partai Persatuan Pembangunan yang telah berumur hampir ¼ abad hanya memperoleh 58 kursi DPR yaitu 12,6 % dari 462 kursi yang diperebutkan. Partai Bulan Bintang memperoleh 13 kursi atau 2%, Partai Keadilan memperoleh 7 kursi atau 1,5%, Partai Nahdatul Ummah memperoleh 5 kursi atau 1%, serta 3 partai Islam lain yang memperoleh kursi masing-masing 1 kursi, yaitu Partai Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam serta Partai Masyumi sehingga berjumlah 3 kursi atau 0,64 %.


Sementara itu, kedua partai yang berbasiskan massa Islam, memperoleh kursi yang juga tidak begitu besar, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh 51 kursi atau 11% dan Partai Amanat Nasional memperoleh 34 kursi atau 7,36 %. Sehingga total perolehan kursi kedua partai ini adalah 85 kursi atau 18,36%. Jumlah ini seimbang dengan perolehan kursi partai-partai Islam. Sedangkan total perolehan kursi partai Islam dan partai barbasis massa Islam adalah 171 kursi atau 37 %. Peranan dan kedudukan parlemen hasil pemilu tahun 1999, menemptai posisi yang sangat strategis bagi masa depan Indonesia, karena dalam masa inilah kebijakankebijakan strategis dan mendasar bagi masa depan Indonesia di letakkan antara lain dengan adanya perubahan yang sangat besar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.


III. 3 perkembangan partai politik Islam di Indonesia pada masa ke masa
Pada masa ke masa partai politik islam mengalami perkembangan yang cukup baik. Ini ditandai dengan semakin banyaknya partai-partai politik yang berlandaskan dari agama yang bermunculan dari masa ke masa. Seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru partai politik Islam hanya terdiri dari 4 sampai 5 partai politik saja. Dan keeksistensiannya pun masih sangat minim dan tidak terlalu terasa akan keberadaannya karena pada masa tersebut pemerintah masih memproteksi fungsi semua partai-partai politik yang ada. Bisa dikatakan Negara hanya merdeka dari penjajahannya saja tetapi masih terjadi keotoriteran dalam menjalankan suatu tatanan pemerintahan.


Pada masa reformasi yang telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan karena telah banyaknya partai-partai politik yang bermunculan ke kancah perpolitikkan di Indonesia. Terdapat paling tidak 8 partai yang bernafaskan islam yang muncul pada masa B.J Habibie ini. Walaupun ternyata perolehan partai politik Islam sangatlah kecil dibanding dengan perolehan suara partai politik yang tidak berdasarkan Islam pada pemilihan di masa ini. Tetapi bermunculannya partai-partai Islam pada masa ini membuat bangkitnya semangat partai-partai islam untuk tumbuh dan berkembang.


Dan perkembangan partai politik Islam mulai sangat terasa pada saat Pemilu pada tahun 2004 yaitu mulainya muncul partai islam yang cukup memberikan kejutan-kejutan pada perpolitikan di Indonesia seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah (PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia, PPNUI), kedua, Partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.


Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam ini sangat menarik, sebab hampir selama masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi oleh pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan dan Partai politik Islam.


Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir (sebelum 2008) menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi justru menjadi pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam dua kali pemilihan umum 1999 dan 2004, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu menjadi milik Partai-Partai Islam, pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh Partai-Partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah Partai-Partai ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di negeri ini, ataukah Partai-Partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di kancah perpolitikan Nasional.


IV. PENUTUP
Dari penjelasan yang telah saya paparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik Islam di Indonesia dari masa ke masa terjadi peningkatan yang ditandai dengan bermunculannya beberapa parta-partai Islam di Indonesia dari masa ke masa. Semakin banyaknya saja partai politik Islam yang tumbuh berkembang. Tetapi perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955.


Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.


Pada pemilu 2009 partai politik islam hanya bisa masuk ke dalam 10 besar saja yaitu PKS memperoleh nomor urut 8 dalam PEMILU 2009 melalui Pengundian Nomor Urut Partai yang diadakan secara resmi oleh KPU. Partai Keadilan Sejahtera mendapat 57 kursi (10%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 8.206.955 suara (7,9%) .


Mungkin semakin melemahnya hasil pemungutan suara partai politik islam jika dibandingkan pada masa 1955 dengan sekarang dikarenakan banyaknya umat islam yang tidak ikut memilih partai politik islam melainkan lebih memilih partai politik nasional saja. Walaupun mayoritas penduduk di Indonesia adalah umat Islam, ini tidak menjadi jaminan bahwa partai politik islam akan memegang suara dalam pemilihan umum.

Sejarah perkembangan organisasi partai politik

Perkembangan Partai Politik di Indonesia
A.   Partai Politik
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Bisa juga di definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu. Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.
B.   Perkembangan Partai Politik dan Pemilu di Indonesia
Perkembangan Partai Politik dari Masa ke Masa.
1.    Partai Politik pada Masa Penjajahan Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, partai-partai politik tidak dapat hidup tentram. Tiap partai yang bersuara menentang dan bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912, di Bandung.
Dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing-masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.
2.    Partai Politik pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Perang Pasifik berjalan 3 bulan, pada bulan Maret 1942, tentara Jepang dipimpin oleh Jendral Imamura mendarat di Pulau Jawa. Dengan semboyan “kemakmuran bersama” dan “Asia untuk bangsa Asia”, banyak di antara pemimpin-pemimpin Indonesia yang terpikat hatinya oleh Jepang, sebab percaya pada propagandanya yang mengadakan Perang Suci.
Padahal kedatangan bangsa Jepang yang sesungguhnya adalah menggantikan kedudukan penjajahan Belanda. Saat itu, partai politik dilarang, kecuali Masyumi boleh berkembang. Untuk memuaskan bangsa Indonesia, Jepang mengatur strategi yaitu kota-kota di Indonesia yang sejak zaman Belanda diganti dengan nama Belanda, lalu diganti lagi dengan nama Indonesia asli.
Ketika Jepang berkuasa di Nusantara, mereka bertindak sewenang-wenang, berbuat sangat kejam dan hidup kemewahan, sedangkan ribuan rakyat Indonesia yang mati kelaparan dan dipaksa menjadi budak romusha banyak yang menderita. Beberapa golongan bangsa Indonesia yang tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang lalu memberontak, seperti pemberontakan PETA di Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan Kalimantan Barat. Setelah peristiwa tersebut terjadi, rakyat Indonesia terutama, pemudanya yang sudah mendapat latihan militer menyadari bahwa nasib bangsa Indonesia yang dijajah oleh siapa pun sama berat rasanya. Maka dari itu bulatlah tekad mereka untuk merebut kemerdekaan, sekalipun akan menimbulkan korban lautan darah.
3.    Perkembangan Partai Politik pada Masa Awal Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945 yang berisi, anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Diantaranya yaitu, Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata atau Murba, Masyumi, dan Serindo-PNI.
4.    Partai Politik pada Masa UUDS 1950-1959
Ketika itu Indonesia menganut demokrasi liberal, karena kabinetnya bersifat parlementer. Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, kebebasan individu terjamin. Begitu juga lembaga tinggi. Dalam sistem politik menurut UUDS 1950, peranan partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR saling ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai. Dalam tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang-orang berpendapat bahwa partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan, meskipun pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Partai politik) sendiri.
5.    Partai Politik pada Masa Orde Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya partai politik, sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme. Dan kelompok partai lain-lain yang termasuk adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional. Partai-partai peserta pemilu yang tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai “Partai Gurem”, partai yang tidak jelas power base-nya. Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak terdengar lagi suaranya. Sementara itu ada partai yang berhasil meraih kursi melakukan penggabungan-penggabungan dalam pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap ini perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi alamiah berdasarkan akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya, terseleksi hingga menjadi belasan saja. Jumlah yang mengecil itu bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal ke alam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung terus-menerus. Pada tanggal 5 Juli 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI. Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti.
Jadi, pada waktu itu partai politik yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena partai politik yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).
6.    Partai Politik Pada Masa Orde Baru
Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha menciptakan politik dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang lebih sederhana dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Partai politik yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut. Khawatir menghadapi perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam meleburkan diri dalam partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah organisasi sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Berikut sejarah singkat berdirinya tiga partai besar tersebut.
a.    Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Pada tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada awalnya bernama golongan spiritual, lalu menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi Persatuan Pembangunan. Ketika itu partai-partai Islam berusaha menggunakan nama dengan label Islam untuk partai dari fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah agar tidak menggunakannya.
 Sehingga yang muncul adalah “Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP lahir sebagai hasil fusi dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya adalah partai Islam yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya.
b.    Golongan Karya (Golkar)
Pengorganisasian Golkar secara teratur dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya ABRI-AD, dan secara eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan semula untuk mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga keutuhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, semula Golkar merupakan organisasi yang dipakai untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada tahun1960-an, yang kemudian terus berkembang hingga saat ini, dimana fungsi Golkar sama seperti partai politik.
Perkembangan lain dari Golkar yang tadinya Golkar dan ABRI menyatu, karena Golkar dipimpin ABRI aktif, makin lama sudah makin mandiri, dalam arti sudah tidak lagi bersangkut-paut dengan ABRI aktif. Pada perkembangan lebih lanjut Golkar sebagai kekuatan Orde Baru bertekad melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan aset bangsa yang selalu komit dengan cita-cita pembangunan nasional.
Dalam politik orde baru Golkar merupakan kekuatan sosial politik yang terbesar dengan 4 kali menang dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982, 1992)
c.    Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah pertentangan/konflik di kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI.
Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal), masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
7.    Partai Politik di Masa Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik. Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan-kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai-partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis multidevresional yang sudah berjalan.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung.
Dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang-Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan-gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum“. Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil, yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.

Tipe-tipe kepemimpinan

Tipe – Tipe Kepemimpinan Beserta Kelebihan dan Kekurangannya

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain, baik bawahan maupun kelompok untuk bekerja sama dalam rangka pencapaian tujuan
Tipe kepemimpinan atau gaya kepemimpinan      :
  1. Tipe Otoriter (Otokratis, Dominator)
Dalam tipe ini, pemimpin bertindak diktaktor pada bawahannya. Cenderung melakukan pemaksaan dalam menggerakkan kelompoknya. Disini kewajiban dari bawahan adalah untuk mengikuti dan menjalankan perintah. Tak boleh ada saran dan bantahan dari bawahan. Mereka diharuskan patuh dan setia secara mutlak kepada pemimpinnya. Kendali penuh ada pada pemimpin (bersifat satu arah)
Contoh pemimpin diktaktor Adolf Hitler, Muammar Khadafi, Saddam Husein, Husni Mubarak dan lain-lain

Kelebihan       :
  • Keputusan akan dapat diambil dengan cepat karena mutlak hak pemimpin, tak ada bantahan dari bawahan
  • Pemimpin yang bersifat otoriter pasti bersifat tegas, sehingga apabila terjadi kesalahan dari bawahan maka pemimpin tak segan untuk menegur
  • Mudah dilakukan pengawasan
Kelemahan     :
  • Suasana kaku, mencekam dan menakutkan karena sifat keras dari pemimpin
  • Menimbulkan permusuhan, keluhan dan rawan terjadi perpindahan karena bawahan tidak merasa nyaman
  • Bawahan akan merasa tertekan karena apabila terjadi perbedaan pendapat, pemimpin akan menganggapnya sebagai pembangkangan dan kelicikan
  • Kreativitas dari bawahan sangatlah minim karena tidak diberikan kesempatan mengajukan pendapat.
  • Mudahnya melahirkan kubu oposisi karena dominasi pemimpin yang berlebihan
  • Disiplin yang terjadi seakan-akan karena ketakutan dan hukuman bahkan pemecatan dari atasan
  • Pengawasan dari pemimpin hanya bersifat mengontrol, apakah perintah yang diberikan sudah dijalankan dengan baik oleh anggotanya

  1. Tipe Demokratis
Tipe kepemimpinan demokratis adalah kebalikan dari pemimpin otoriter. Disini pemimpin ikut berbaur dan berada ditengah-tengah anggotanya. Hubungan yang tercipta juga tidaklah kaku seperti majikan dengan bawahan, melainkan seperti saudara sendiri. Pemimpin selalu memperhatikan kebutuhan kelompoknya dan mempertimbangkan kesanggupan kelompok dalam mengerjakan tugas. Pemimpin juga mau menerima masukan dan saran dari bawahannya.
Contoh pemimpin demokratis adalah John F Kennedy, Mahatma Gandhi dan lain-lain

Kelebihan       :
  • Hubungan antara pemimpin dan bawahan harmonis dan tidak kaku
  • Keputusan dan kebijaksanaan diambil melalui diskusi sehingga bawahan akan merasa dihargai dan dibutuhkan peranannya
  • Mengembangkan daya kreatif dari bawahan karena dapat mengajukan pendapat dan saran
  • Bawahan akan merasa percaya diri dan nyaman sehingga bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk menyelesaikan tugasnya
  • Bawahan akan merasa bersemangat karena merasa diperhatikan
  • Tidak mudah lahir kubu oposisi karena pemimpin dan bawahan sejalan
Kelemahan     :
  • Proses pengambilan keputusan akan berlangsung lama karena diambil secara musyawarah
  • Sulitnya dalam pencapaian kata mufakat karna pendapat setiap orang jelas berbeda
  • Akan memicu konflik apabila keputusan yang diambil tidak sesuai dan apabila ego masing-masing anggota tinggi

  1. Tipe Kharismatik
Tipe kepemimpinan kharismatik memiliki energi dan daya tarik yang luar biasa untuk dapat mempengaruhi orang lain, maka tidaklah heran apabila memiliki pengikut atau masa yang jumlahnya besar. Sifat kharismatik yang dimiliki adalah karunia dari tuhan. Pemimpin kharismatik bisa dilihat dari cara mereka berbicara, berjalan maupun bertindak.
            Contoh pemimpin kharismatik adalah Nelson Mandela, John F Kennedy, Martin Luther King, Soekarno dan lain-lain

Kelebihan       :
  • Dapat mengkomunikasikan visi dan misi secara jelas
  • Dapat membangkitkan semangat bawahan untuk bekerja lebih giat
  • Bisa mendapatkan pengikut dengan masa yang besar karena sifatnya yang berkharisma sehingga bisa dipercaya
  • Menyadari kelebihannya dengan baik sehingga bisa memanfaatkannya semaksimal mungkin
Kelemahan     :
  • Para pemimpin kharismatik mudah mengambil keputusan yang beresiko
  • Pemimpin kharismatik cenderung memiliki khayalan bahwa apa yang dilakukan pasti benar karena pengikutnya sudah terlanjur percaya
  • Ketergantungan yang tinggi sehingga regenerasi untuk pemimpin yang berkompeten sulit

  1. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin ini memiliki sifat kebapakan, mereka menganggap bahwa bawahan tidak bisa bersifat mandiri dan perlu dorongan dalam melakukan sesuatu. Pemimpin ini selalu melindungi bawahannya. Pemimpin paternalistik memiliki sifat maha tahu yang besar sehingga jarang memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengambil keputusan
Contoh pemimpin paternalistik adalah seorang guru

Kelebihan       :
  • Pemimpin pasti memiliki sifat yang tegas dalam mengambil keputusan
  • Bawahan akan merasa aman karena mendapat perlindungan
Kelemahan     :
  • Bawahan tidak memiliki inisiatif dalam bertindak karena tidak diberi kesempatan
  • Keputusan yang diambil tidak berdasarkan musyawarah bersama karena menganggap dirinya sudah melakukan yang benar
  • Daya imajinasi dan kreativitas para pengikut cukup rendah karena tidak ada kesempatan untuk mengembangkannya

  1. Tipe Militeristik
Tipe kepemimpinan militeristik adalah tipe pemimpin yang memiliki disiplin tinggi dan biasanya menyukai hal-hal yang formal. Menerapkan sistem komando dalam menggerakkan bawahannya untuk melakukan perintah. Menggunakan pangkat dan jabatan dalam mempengaruhi bawahan untuk bertindak.
Contoh pemimpin militeristik adalah Soeharto

Kelebihan       :
  • Tegas dan tidak memiliki keraguan dalam bertindak dan mengambil keputusan
  • Bawahan akan memiliki disiplin yang tinggi
  • Bawahan akan merasa aman dan terlindungi
Kelemahan     :
  • Suasana cenderung kaku karena lingkungan yang formal
  • Pemimpin sukar dalam menerima kritikan dan saran dari bawahan
  • Bawahan akan merasa tertekan dan tidak nyaman karena banyak aturan dan sifat keras dari pemimpin

  1. Tipe Laissez-Faire
Dalam tipe ini, pemimpin tidak memberikan instruksi dan perintah, mereka membiarkan bawahannya untuk berbuat sekehendaknya. Tak ada kontrol dan koreksi. Tentu saja dalam kepemimpinan inisangatlah mudah terjadi kekacauan dan bentrokan. Pemimpin tak menjalankan perannya dengan baik

Kelebihan       :
  • Keputusan ada di tangan bawahan sehingga bawahan bisa bersikap mandiri dan memiliki inisiatif
  • Pemimpin tidak memiliki dominasi besar
  • Bawahan tidak akan merasa tertekan dalam menjalankan tugas
Kelemahan     :
  • Pemimpin membiarkan bawahan untuk bertindak sesuka hati karena tidak ada kontrol
  • Mudah terjadi kekacauan dan bentrokan
  • Tujuan organisasi akan sulit tercapai apabila bawahan tidak memiliki inisiatif yang tepat dan dedikasi tinggi

  1. Tipe Kepemimpinan Menurut Hersey dan Blanchard (Situasional)
Ada empat tipe kepemimpinan           :
  1. Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan dirujuk sebagai instruksi karena gaya ini dicirikan dengan komunikasi 1 arah, pemimpin memberikan batasan peranan penngikutnya dan memberitahu mereka tentang apa, bagaimana, bilamana, dan dimana melaksankan berbagai tugas.
Kelebihan             :
  • Pemimpin memiliki sifat yang tegas dan cepat
  • Pemimpin memberikan pengarahan yang jelas untuk melaksanakan tugas
Kekurangan         :
  • Bawahan cenderung bersifat pasif karena keputusan diambil sepenuhnya oleh pemimpin
  • Bawahan merasa diawasi dengan ketat dalam pelaksanaan tugas sehingga dapat menimbulkan ketakutan apabila melakukan kesalahan
 2. Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan dirujuk sebagai konsultasi karena dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan komunikasi dua arah, dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Meskipun dukungan ditingkatkan, pengendalian atas pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.
Kelebihan             :
  • Dalam pengambilan keputusan, bawahan masih turut terlibat
  • Suasana harmonis dan nyaman antara pemimpin dengan bawahan
  • Pemimpin memiliki kendali dalam pengawasan tugas sehingga bawahan tidak bisa seenaknya
Kekurangan         :
  • Pengambilan keputusan tidak bisa dilangsungkan dengan cepat
 3. Perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai partisipasi, karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian. Dengan penggunaan gaya tiga ini, pemimpin dan pengikut saling tukar menukar ide dalam pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan, dan peranan pemimpin adalah secara aktif mendengar.
Kelebihan             :
  • Bawahan turut serta dalam pengambilan keputusan
  • Pemimpin bersifat terbuka dalam pelaksanaan tugas
Kelemahan           :
  • Kontrol dalam pemecahan masalah dilakukan secara bergantian sehingga dapat menimbulkan ketidakcocokan pendapat. 4. Perilaku pemimpin yang rendah pengarahan dan rendah dukungan dirujuk sebagai delegasi, karena pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai visi misi masalah yang kemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan.

Kelebihan             :
  • Bawahan akan memiliki kreatifitas tinggi dalam pengembangan tugas, karena pemimpin telah memberikan hak penuh dalam pelaksanaanya
  • Bawahan akan memiliki rasa percaya tinggi tinggi karena dipercaya mengambil keputusan sendiri
  • Bawahan akan memiliki tanggung jawab dalam penyelesaian tugas
Kelemahan           :
  • Bawahan akan merasa terbebani apabila tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik